Jakarta, 7 Juli 2025 – Ketua DPR RI Puan Maharani kembali menyoroti salah satu luka sejarah terbesar Indonesia: tragedi pemerkosaan massal Mei 1998 yang terjadi dalam gelombang reformasi dan kerusuhan sosial-politik saat itu. Dalam pidato refleksi kebangsaan yang disampaikan dalam rangka peringatan Hari Hak Asasi Manusia Indonesia, Puan mengutip pernyataan Presiden ke-3 RI, B.J. Habibie, di Sidang MPR tahun 1999, yang menyatakan perlunya negara mengusut tuntas pelanggaran HAM berat, termasuk kejahatan seksual sistematis terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa.
📜 Mengutip Habibie: “Bangsa Ini Tak Akan Besar Jika Tak Mengakui Luka Sendiri”
Pidato Puan merefleksikan pernyataan historis Habibie yang pernah berkata dalam Sidang Tahunan MPR:
“Negara tidak boleh abai terhadap kejahatan luar biasa yang menimpa perempuan dalam tragedi nasional. Pemerkosaan massal bukan hanya melukai tubuh, tapi merobek martabat bangsa.”
Puan menyampaikan bahwa kesadaran kolektif terhadap tragedi 1998 tidak boleh hanya menjadi catatan sejarah, melainkan menjadi titik awal perbaikan struktural dalam penegakan HAM dan keadilan gender.
“Sudah terlalu lama korban menunggu keadilan. Negara tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan politik dan birokrasi,” tegasnya di Kompleks Parlemen, Jakarta.
🧠 Tragedi Mei 1998: Luka Kolektif yang Belum Terobati
Peristiwa Mei 1998, yang memuncak dalam kerusuhan besar di Jakarta dan kota-kota besar lain, bukan hanya soal jatuhnya Soeharto, tetapi juga melibatkan pelanggaran HAM berat, termasuk laporan luas mengenai:
-
Pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa.
-
Penganiayaan dan pembakaran hidup-hidup.
-
Penjarahan dan penghancuran properti milik etnis minoritas.
Komnas Perempuan mencatat bahwa setidaknya 85 kasus kekerasan seksual dilaporkan, namun hanya sebagian kecil yang ditindaklanjuti secara hukum. Banyak korban enggan bersuara karena stigma, trauma, dan rasa takut terhadap institusi negara.
⚖️ Seruan Puan: Penuntasan Lewat Rekonsiliasi dan Keadilan Transisional
Puan mendorong agar tragedi ini tidak sekadar dijadikan retorika politik, melainkan:
-
Dibentuknya kembali komisi independen penyelidikan ulang.
-
Penyerahan arsip negara kepada publik terkait tragedi 1998.
-
Permintaan maaf negara secara resmi kepada para korban dan keluarganya.
-
Skema pemulihan trauma dan dukungan psikososial berkelanjutan.
“Korban tidak minta dihormati. Mereka hanya ingin diakui, didengar, dan dipulihkan,” ujar Puan, disambut tepuk tangan sebagian anggota DPR lintas fraksi.
📌 Respons Aktivis dan Akademisi: “Langkah Penting, Tapi Harus Konkret”
Aktivis HAM seperti Usman Hamid (Amnesty International) menyambut pernyataan Puan sebagai langkah positif, tetapi menekankan bahwa perlu ada tindakan nyata, bukan hanya wacana simbolik menjelang tahun politik.
“Sudah 27 tahun tragedi ini berlalu. Kita tidak bisa terus berdamai dengan lupa. Negara harus menuntaskan apa yang pernah dijanjikan Habibie,” ujarnya dalam diskusi publik.
Akademisi dari UI, Dr. Ratna M. Sari, juga mengingatkan bahwa reformasi tidak pernah lengkap jika tidak disertai pemulihan korban-korban sejarah.
🧩 Kesimpulan: Saatnya Bangsa Mengakui Luka, Bukan Menyembunyikannya
Pidato Puan Maharani yang menyinggung pidato Habibie membuka kembali ruang penting bagi bangsa Indonesia untuk melihat sejarah dengan jujur dan bertanggung jawab. Tragedi pemerkosaan massal 1998 bukan hanya tentang kejahatan, tetapi tentang kegagalan institusi dalam melindungi rakyatnya sendiri.
Jika bangsa ini ingin maju, luka lama tidak bisa ditutup-tutupi. Ia harus diakui, diobati, dan dipulihkan.
“Sejarah hanya akan menjadi guru jika kita benar-benar belajar dari luka terdalamnya,” tutup Puan.